Medan | Garispolisi.com - Kasus dugaan suap untuk mendapatkan proyek di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kembali disidangkan di Pengadilan Tipikor Medan dengan terdakwa Akhirun Piliang alias Kirun, Direktur Utama PT Dalihan Natolu Group (DNG), serta M. Rayhan Dulasmi Piliang, Direktur PT Rona Namora (RM).
Dalam persidangan yang digelar pada Kamis, 9 Oktober 2025 tersebut, Hakim menyebutkan bahwa Kirun "Sinterklas" karena rajin "bagi-bagi uang" pada pejabat.
Saat berlangsungnya persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan empat orang saksi, yakni pegawai honorer bernama Umar Hadi, Gery Frendy Sinaga (PPK 1.4 tahun 2025), Munson Hutauruk (PPK 1.4 tahun 2020), dan Faisal (PPK 1.4 tahun 2023). Keempatnya dimintai keterangan terkait proyek peningkatan jalan dan jembatan Simpang Kota Pinang–Gunungtua–Simpang PAL XI.
Dalam sidang tersebut, suasana sempat mencair saat Ketua Majelis Hakim Khamozaro Waruwu menanggapi peran terdakwa Kirun yang disebut-sebut kerap "membagi-bagikan uang" kepada sejumlah pihak.
"Kirun ini Sinterklas, ya. Kerjanya bagi-bagi uang saja," cetus Ketua Majelis Hakim, Khamozaro menanggapi keterangan para saksi di ruang sidang.
Pernyataan itu muncul setelah Majelis Hakim mendengarkan kesaksian Umar Hadi, seorang pegawai honorer yang ternyata menjadi pihak penampung dana operasional dan uang dokumen kontrak. Umar mengaku ditugaskan oleh Heliyanto, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) 1.4 Satker I BBPJN Sumatera Utara, untuk menampung sejumlah dana yang dikirim oleh Taufik Hidayat Lubis—komisaris sekaligus orang kepercayaan terdakwa Kirun—melalui rekening pribadinya di Bank BRI.
Dari fakta persidangan terungkap, aliran dana ke rekening Umar berlangsung antara 1 Maret 2024 hingga 25 Juni 2025. Nilai transfer bervariasi, mulai dari Rp3,5 juta hingga Rp50 juta, dengan total sekitar Rp100 juta. Namun, Umar mengaku hanya menerima Rp16 juta dari jumlah tersebut. Uang itu disebut-sebut sebagai dana operasional dan pengurusan dokumen kontrak untuk kepentingan proyek yang dikerjakan oleh PT. DNG.
Selain Umar, saksi lain juga turut mendapat aliran dana dari terdakwa Kirun. Munson Hutauruk, yang telah pensiun sebagai PNS, mengaku menerima Rp530 juta. Dari jumlah itu, Rp300 juta diberikan oleh Kirun dengan alasan yang tidak diketahui, sementara Rp130 juta disebut sebagai bantuan untuk mengurus perkara perceraian Munson.
Sementara itu, Faisal menerima Rp160 juta dari Kirun, dan Gery Frendy Sinaga mengaku hanya menerima Rp2 juta, yang diklaim sebagai pengganti biaya konsumsi rapat bersama pihak penyedia (PT DNG) usai penetapan pemenang lelang.
Dari keterangan saksi-saksi tersebut, terungkap pula bahwa bukan hanya PT DNG dan PT RM yang memenangkan tender proyek di lingkungan BBPJN Sumut, tetapi juga ada 11 perusahaan lain, termasuk PT Ayu Septa Perdana.
Jaksa KPK Eko Putra Prayitno menyatakan pihaknya masih akan menghadirkan sejumlah saksi tambahan pada sidang berikutnya yang dijadwalkan pada Rabu, 15 Oktober 2025. Sebanyak 10 saksi baru akan diperiksa, termasuk Plt Kadis PUPR Medan Hendra Dermawan Siregar, Aldi (ajudan Topan Ginting), serta delapan saksi lain yang diduga mengetahui lebih jauh aliran dana dan peran pihak-pihak terkait.
Eko berharap seluruh rangkaian pemeriksaan dapat rampung pada akhir Oktober 2025 sehingga perkara dapat segera masuk ke tahap pembacaan tuntutan.
Untuk menghadirkankalangan internal jaksa pada pusaran kasus tersebut, JPU KPK,Eko menyebutkan saat ini mereka hanya focus pada kasus suap dengan terdakwa Kirun an Rayhan.(Nzr)
0 Komentar