Penulis: Yasmend
TAPTENG | GarisPolisi.com - Aktivitas penambangan Galian C di Lorong IV, Kelurahan Tukka, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), kembali menuai sorotan. Setelah sempat terhenti akibat maraknya pemberitaan mengenai dugaan ilegalitasnya, kini penambangan tersebut kembali beroperasi tanpa kejelasan hukum yang pasti.
Penelusuran di lapangan menunjukkan bahwa alat berat seperti ekskavator masih beroperasi pada Jumat (14/2/2025). Berdasarkan informasi yang dihimpun, usaha penambangan ini diduga tidak memiliki izin resmi dari instansi terkait. Namun, aktivitas tetap berjalan dengan dalih adanya Surat Keterangan dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Tukka.
LPM Kelurahan Tukka menerbitkan Surat Keterangan tertanggal 12 Februari 2025 dengan Nomor: 017/II/LPM/LTK/2025 yang ditandatangani oleh ketuanya, Mukhtar Hutagalung. Surat ini menyatakan bahwa warga tidak keberatan terhadap kegiatan penambangan Galian C di Lorong IV Kelurahan Tukka. Dalam surat tersebut juga ditegaskan bahwa berita viral yang menyebutkan adanya penolakan warga terhadap tambang itu dianggap sebagai hoaks yang disebarkan oleh oknum tertentu.
Namun, pertanyaan besar muncul mengenai kewenangan LPM dalam menerbitkan Surat Keterangan semacam itu. Secara hukum, LPM tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat keterangan persetujuan warga terkait aktivitas pertambangan. Lembaga yang berwenang menerbitkan Surat Keterangan Tidak Keberatan Warga terkait penambangan adalah pemerintah desa/kelurahan atau camat, bukan LPM.
Sebagai informasi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, setiap aktivitas pertambangan wajib memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau dinas terkait di tingkat provinsi. Tanpa izin tersebut, setiap aktivitas penambangan dapat dianggap ilegal dan dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 158 UU Minerba dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Pro Jurnalis Media Siber (PJS) Sibolga-Tapteng, Yasiduhu Mendrofa, menyoroti kejanggalan ini. Ia mempertanyakan dasar hukum LPM dalam mengeluarkan Surat Keterangan tersebut dan menyebut bahwa aktivitas penambangan yang diduga ilegal ini harus segera diselidiki oleh aparat penegak hukum.
"Jika memang tidak memiliki izin resmi, maka harus segera ditindak sesuai hukum yang berlaku. Kami akan terus mengawal kasus ini sampai ada kejelasan hukum dari pihak berwenang," tegasnya.
Selain persoalan legalitas, dampak lingkungan juga menjadi perhatian. Sejumlah warga mengeluhkan polusi debu yang dihasilkan akibat aktivitas penambangan ini, terutama saat musim kemarau, serta jalan yang menjadi berlumpur ketika hujan. Seorang warga, Sabri Situmeang, menyatakan bahwa debu dari aktivitas tambang sangat mengganggu kesehatan masyarakat sekitar.
Untuk diketahui salam proses perizinan usaha penambangan Galian C, beberapa tahapan yang harus dipenuhi meliputi:
Pengajuan permohonan izin kepada Dinas ESDM setempat.
Kajian lingkungan hidup (AMDAL atau UKL-UPL) untuk memastikan tidak ada dampak negatif yang signifikan.
Persetujuan dari pemerintah daerah dan instansi terkait.
Sosialisasi kepada masyarakat serta penerbitan Surat Keterangan Tidak Keberatan Warga dari pemerintah desa/kelurahan.
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) jika semua persyaratan terpenuhi.
Dengan prosedur yang jelas ini, penggunaan Surat Keterangan dari LPM sebagai dasar legalitas operasional tambang jelas tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Aparat penegak hukum diharapkan segera melakukan penyelidikan dan menindak tegas apabila ditemukan adanya pelanggaran hukum dalam aktivitas penambangan ini agar tidak ada pihak yang merasa kebal hukum. (**)
0 Komentar