Lewat Keadilan Restoratif, Kejari Medan Pulihkan Hubungan Sosial Tersangka dan Korban

Medan|GarisPolisi.com - Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan, Sumatera Utara kembali menunjukkan pendekatan progresif dalam penegakan hukum dengan menyelesaikan kasus dugaan pencurian perhiasan melalui restorative justice atau keadilan restoratif, yang fokus pada pemulihan hubungan sosial antara tersangka dan korban. 

"Kasus ini melibatkan seorang mahasiswi berinisial NLS alias Maya (21), yang semula terancam hukuman penjara karena mencuri perhiasan milik korban RHS," ucap Kasi Pidum Kejari Medan Deny Marincka Pratama di Medan, Rabu (11/12/2024).

Namun, lanjut dia, pihaknya memutuskan untuk menghentikan proses hukum terhadap tersangka  dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Di mana pendekatan keadilan restoratif dilakukan, setelah tersangka dan korban sepakat untuk berdamai dan menyelesaikan permasalahan secara musyawarah yang difasilitasi oleh jaksa fasilitator Asepte Gaulle Ginting. 

"Penghentian perkara ini merupakan bagian dari upaya untuk mengharmoniskan hubungan sosial antara pelaku dan korban," ungkapnya.

Selain itu Deny juga mengatakan pengembalian keadaan semula tersebut tentunya hanya dapat terjadi apabila pelaksanaan perjanjian mediasi pidana telah dilaksanakan secara tuntas.

"Kemudian kesepakatan kedua belah pihak melalui restorative justice yang disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI," jelas dia. 

Menurut dia, langkah ini sesuai dengan pedoman pada Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif.

"Dimana tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun penjara, dan yang terpenting adalah antara tersangka dan korban saling memaafkan," terangnya.

Pihaknya mengatakan penghentian penuntutan tersebut adalah lebih menekankan kepada penerapan hati nurani dan melihat esensi dari perkaranya.

"Keadilan restoratif bertujuan untuk mengembalikan kondisi sosial yang terganggu akibat perbuatan kriminal, tanpa menambah beban hukuman bagi pelaku yang memiliki itikad baik untuk bertanggung jawab," katanya.

Dengan keputusan ini, pihaknya berharap dapat memberikan contoh positif bagi masyarakat bahwa penyelesaian perkara hukum tidak selalu harus melalui jalur pidana, melainkan juga bisa dilakukan dengan pendekatan yang mengedepankan perdamaian, rekonsiliasi, dan pemulihan hubungan sosial.

"Kita berharap bahwa langkah ini dapat diterapkan pada lebih banyak kasus, untuk mewujudkan keadilan yang lebih menyeluruh, adil, dan seimbang bagi semua pihak yang terlibat," tuturnya.

Tak hanya itu, ia juga menambahkan, proses perdamaian antara tersangka dan korban disaksikan langsung oleh keluarga kedua belah pihak, tokoh masyarakat, penyidik dari kepolisian dan jaksa fasilitator.

"Antara tersangka dan korban sudah bersepakat berdamai dan membuka ruang yang sah menciptakan harmoni di tengah masyarakat, tidak ada lagi dendam di kemudian hari," jelas pria yang pernah menjabat sebagai Kasi Pidsus Kejari Garut, Jawa Barat. 

Dia menjelaskan, kasus ini bermula saat tersangka yang diketahui menumpang tinggal di rumah korban, mengambil beberapa perhiasan berharga, yakni satu kalung emas beserta liontin, satu cincin emas, dan dua anting-anting emas.

"Setelah mengambil barang-barang tersebut, tersangka kemudian menjual hasil curian tersebut dengan total hasil penjualan sebesar Rp7 juta lebih," pungkas Deny Marincka Pratama.

(Zar)

Posting Komentar

0 Komentar