TPL dan Gereja di Persimpangan Jalan: Antara Kutukan atau Berkat untuk Tano Batak

TARUTUNG|GarisPolisi.com Seruan penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) oleh Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pdt. Dr. Victor Tinambunan, memantik perdebatan luas di tengah masyarakat Tapanuli. Isu ini menyentuh ranah lingkungan, keadilan sosial, hingga masa depan ekonomi kawasan Tano Batak.

Dalam pernyataannya, Ephorus HKBP menilai bahwa keberadaan TPL selama ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan ketegangan horizontal antarwarga. “Kami mendesak agar PT TPL ditutup karena kehadirannya lebih banyak membawa mudarat dibanding manfaat,” kata Ephorus Victor dalam pernyataan resmi pada 28 Mei 2025, seperti dikutip dari Kompas.com.

Menurutnya, keberadaan TPL menyebabkan pencemaran air dan udara, banjir, serta hilangnya lahan pertanian produktif milik masyarakat adat. Seruan ini bukan pertama kali dilontarkan oleh pemimpin gereja di Tapanuli. Namun, hingga kini TPL masih beroperasi dengan lisensi resmi dari pemerintah pusat.

Di sisi lain, Direktur PT TPL Jandres Silalahi membantah tudingan tersebut. Ia menyayangkan pernyataan Ephorus HKBP yang dianggap tidak melalui proses dialog sebelumnya. “Kami menjalankan prinsip keberlanjutan. Kami menanam dan memanen pohon secara bergilir serta berkontribusi nyata bagi perekonomian lokal,” ujar Jandres seperti dilansir Medcom.id, 30 Mei 2025.

Jandres menambahkan, TPL membuka ribuan lapangan kerja dan turut dalam pembangunan infrastruktur sosial, termasuk mendukung pendidikan dan kesehatan di desa-desa sekitar konsesi mereka.

Namun, di tengah perbedaan pandangan ini, sejumlah tokoh masyarakat mengingatkan agar diskursus tidak terjebak dalam polarisasi emosional.

“Saya lebih setuju dilakukan peningkatan pengawasan ketimbang langsung menutup. Keberadaan TPL adalah bagian dari investasi nasional, dan kita perlu menilai secara objektif, bukan emosional,” kata Capt. Anthon Sihombing, mantan Ketua Pengawas Yayasan Universitas HKBP Nommensen, kepada wartawan di Tarutung, Senin (2/6/2025), dikutip dari Metro Siantar.

Anthon menyebutkan bahwa kehadiran PT TPL (dahulu Indorayon) sejak awal merupakan bagian dari harapan masyarakat agar ada perubahan ekonomi di Tapanuli. “Jangan sampai gereja berperan seperti LSM. Perlu ada data valid dan keterlibatan semua pihak dalam dialog,” tegasnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa pernyataan gereja harus dilandasi kajian ilmiah. “Gereja jangan hanya bersandar pada perasaan. Harus ada data yang konkret agar kita bisa menentukan apakah TPL benar menjadi kutukan atau justru berkat bagi Tano Batak,” ujarnya dalam laporan investigasi internal.

Ia menambahkan, sudah saatnya dilakukan forum bersama antara gereja, masyarakat adat, pemerintah daerah, dan pihak TPL untuk mencari jalan tengah. “Tidak ada masalah yang selesai dengan hanya menyalahkan. Dialog dan transparansi adalah kunci,” tambahnya.

Dalam konteks ini, sejumlah lembaga independen seperti Forest Stewardship Council (FSC) dan TÜV Rheinland pernah melakukan audit terhadap TPL dan memberikan penilaian terhadap upaya keberlanjutan perusahaan. Meski ada catatan dan rekomendasi, beberapa hasil audit menyebutkan bahwa perusahaan telah menunjukkan komitmen dalam perbaikan praktik industri kehutanan.

Namun masyarakat adat, terutama di sekitar wilayah konsesi, tetap menyoroti berbagai insiden seperti kriminalisasi warga, konflik lahan ulayat, dan kesalahan peta konsesi. Hal inilah yang menurut para aktivis lingkungan dan tokoh adat harus menjadi fokus pemerintah.

Pengamat lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut, Dwi Sahputra, menegaskan bahwa akar konflik di TPL bukan hanya soal ekologi, melainkan juga ketidakadilan struktural. “Negara memberi konsesi di atas tanah adat tanpa partisipasi masyarakat. Itu yang jadi masalah utama,” katanya, dikutip dari BBC Indonesia (1 Juni 2025).

Kini, suara publik di Tano Batak terpecah. Sebagian mendukung langkah gereja yang dinilai vokal menyuarakan keadilan ekologis. Sebagian lainnya menilai bahwa penutupan TPL tanpa rencana transisi akan memperparah pengangguran dan memperlebar jurang kemiskinan.

Seruan penutupan TPL membawa kita ke persimpangan jalan: antara membela keadilan ekologis dan hak masyarakat adat, atau mempertahankan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi. Jalan keluar terbaik tampaknya bukan sekadar memilih antara “kutukan” atau “berkat”, tetapi merancang sistem tata kelola industri berbasis keadilan ekologis dan sosial.

Diperlukan langkah konkret: dialog terbuka, audit independen menyeluruh, dan reformasi tata ruang serta hak tanah adat. Gereja, pemerintah, perusahaan, dan masyarakat harus duduk bersama untuk merumuskan masa depan Tano Batak yang lestari dan adil.

(Red)

Posting Komentar

0 Komentar