MEDAN|GarisPolisi.com – Seruan untuk menutup operasional PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali mencuat setelah Ephorus HKBP bersama sejumlah pemimpin gereja menyerukan penghentian aktivitas perusahaan tersebut. Seruan ini memantik perdebatan luas di tengah masyarakat Sumatera Utara, khususnya di kawasan Tapanuli atau Tano Batak.
Sebagian kalangan menyambut dukungan seruan itu karena dianggap membela lingkungan hidup dan hak masyarakat adat. Namun, tidak sedikit pula yang menilai seruan tersebut perlu dikaji ulang secara objektif dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan hukum yang menyertainya.
Sejumlah pengamat kebijakan publik dan masalah sosial menilai seruan penutupan TPL bukan hal baru. "Ini adalah pengulangan dari seruan yang pernah disuarakan sejak lebih dari dua dekade lalu, namun tidak pernah benar-benar membuahkan hasil konkret berupa penutupan," ujar seorang pengamat yang enggan disebutkan namanya.
Para pengamat menyebut, sebagian besar poin dalam seruan tersebut berkaitan dengan kerusakan lingkungan akibat aktivitas Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikelola TPL. Namun demikian, berbagai lembaga internasional disebut juga pernah melakukan kajian independen yang menghasilkan temuan berbeda terkait dampak ekologis perusahaan.
"Operasional TPL sudah berlangsung selama puluhan tahun dan meninggalkan jejak yang kompleks. Di satu sisi ada peningkatan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja di kawasan Tano Batak. Tapi di sisi lain juga ada catatan pelanggaran HAM, pengusiran masyarakat adat, dan dugaan kriminalisasi,” kata pengamat tersebut.
Salah satu persoalan utama yang muncul adalah pemberian konsesi hutan yang diduga tumpang tindih dengan tanah ulayat masyarakat adat. Para pengamat menekankan perlunya koreksi terhadap koordinat konsesi yang ditetapkan pemerintah pusat agar tidak lagi mengorbankan hak masyarakat lokal.
“Gereja memang punya tanggung jawab moral dan spiritual, tetapi dalam menyuarakan penutupan industri sebesar ini harus disertai data akurat dan argumen rasional, bukan hanya berdasarkan emosi,” lanjutnya.
Pengamat lainnya menambahkan bahwa perubahan paradigma pengelolaan lingkungan saat ini menekankan pentingnya mengelola penyebab, bukan hanya akibat. Oleh karena itu, dialog konstruktif antar semua pihak sangat diperlukan.
“Kita butuh forum bersama. Gereja-gereja harus duduk bersama pihak manajemen TPL. Kedua belah pihak perlu saling mendengar, bahkan kalau perlu ada pengakuan dari pihak perusahaan atas kesalahan di masa lalu," ujarnya.
Menurutnya, penyelesaian masalah TPL tidak bisa dilakukan dengan pendekatan konfrontatif. Sebaliknya, mediasi dan komunikasi terbuka menjadi jalan tengah untuk menghindari konflik sosial yang lebih luas di masa depan.
Berbagai pihak mendorong segera dilakukan pertemuan antara Ephorus HKBP, manajemen PT TPL, serta perwakilan masyarakat terdampak agar tercapai solusi bersama yang adil dan berkelanjutan.
"Apakah TPL menjadi kutukan atau berkat bagi Tano Batak, jawabannya tidak bisa didasarkan pada satu perspektif saja. Kita harus mendengarkan semua pihak agar keputusan yang diambil benar-benar berpihak pada kebaikan bersama,” pungkasnya.
(Red)

0 Komentar