Ribuan Warga Tanjung Mulia Tolak Eksekusi Lahan, Tuding Ada Mafia Tanah Bermain

MEDAN|GarisPolisi.com  – Ribuan warga di Kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, Sumatra Utara, turun ke jalan pada Senin (23/6/2025) pagi. Mereka menggelar aksi penolakan terhadap rencana eksekusi lahan yang mereka tempati sejak tahun 1937, dan menuding adanya keterlibatan mafia tanah dalam proses klaim kepemilikan.

Aksi dimulai sejak pukul 08.00 WIB di kawasan Jalan Alumunium I, Lingkungan 16, 17, dan 20. Massa yang berasal dari berbagai RT/RW memadati jalan utama, termasuk area sekitar SPBU Jalan Alumunium, hingga menyebabkan lalu lintas tersendat. Aparat kepolisian turut diterjunkan untuk berjaga di beberapa titik strategis, termasuk di depan SDN 060873, Jalan Krakatau Ujung.

Dalam orasinya, warga menyatakan tidak akan menyerahkan tanah yang telah mereka huni secara turun-temurun kepada siapa pun yang mereka anggap sebagai mafia tanah. Sejumlah tokoh masyarakat dan ormas bergantian berorasi di atas mobil pikap, memimpin massa yang membawa spanduk dan poster bertuliskan “Usir Mafia Tanah”, “Kami Lahir dan Hidup di Sini”, serta “Tanah Kami Bukan Milik Mafia!”.

 “Kami lahir, besar, dan membesarkan anak-cucu kami di tanah ini. Tidak sejengkal pun akan kami serahkan kepada mafia tanah!” tegas Hiber Marbun (58), disambut pekikan "Merdeka!" dari massa aksi.

Agus Irianto (65), tokoh masyarakat setempat, juga menyuarakan perlawanan. Ia menyebut bahwa klaim sepihak atas tanah warga merupakan bentuk penindasan yang harus dilawan.

“Kalau perlu sampai berdarah-darah, kami akan pertahankan tanah ini. Kami bukan pendatang di sini. Ini tanah kelahiran kami!” ujarnya lantang dari atas mobil komando.

Warga mencurigai bahwa klaim atas tanah mereka adalah bagian dari skema terstruktur yang melibatkan oknum dari kalangan tertentu. Mereka menuding bahwa surat dari Mahkamah Agung yang beredar di masyarakat terkait eksekusi lahan digunakan sebagai alat legitimasi oleh kelompok tertentu untuk mengambil alih lahan secara tidak sah.

“Tanah di Lingkungan 16, 17, dan 20 bukan milik Parinduri seperti yang diklaim. Kami sudah tinggal di sini sejak 1937. Kalau dibilang tanah kosong, itu bohong besar!” kata Zul (48), warga setempat yang aktif dalam aksi.

Ia menyebut bahwa sejumlah pihak menggunakan jalur hukum dan aparat untuk melegitimasi klaim atas tanah yang dihuni warga selama hampir satu abad.

Situasi sempat memanas ketika sebuah mobil trailer yang membawa alat berat jenis beko terlihat berhenti di Jalan Krakatau Ujung, tepat di depan sebuah showroom. Warga yang melihat keberadaan alat berat tersebut langsung mengejar secara massal. Takut diamuk massa, sopir mobil trailer memilih kabur dari lokasi.

Hingga Senin siang, warga masih bertahan di lokasi aksi. Mereka mendirikan pos jaga swadaya di masing-masing lingkungan dan menyatakan akan terus bersiaga 24 jam untuk mengantisipasi kemungkinan adanya eksekusi mendadak.

Aksi ini menjadi alarm keras bagi pemerintah Kota Medan, aparat kepolisian, serta lembaga peradilan untuk menyelidiki dan menindak praktik mafia tanah yang kian meresahkan warga.

Warga meminta agar Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri turut turun tangan dalam menyelesaikan konflik agraria yang menurut mereka kian merajalela di perkotaan.

“Kami minta keadilan. Kami bukan penjajah, kami rakyat yang berhak atas tanah ini. Jangan biarkan mafia tanah menang di negeri sendiri!” ujar Bu AT (55), perempuan yang mengaku tinggal di wilayah itu sejak lahir.

Hingga berita ini diturunkan, situasi di lokasi masih terpantau kondusif namun dipenuhi ketegangan. Aparat keamanan terus berjaga, sementara warga tetap menolak untuk meninggalkan lokasi hingga ada jaminan hukum yang melindungi hak atas tempat tinggal mereka.

(WPS)

Posting Komentar

0 Komentar