Labura|GarisPolisi.com — Kelompok Tani Hutan (KTH) Karya Prima Leidong Sejahtera (KPLS) yang mengelola kebun sawit seluas 929 hektare di Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhanbatu Utara, menjadi sorotan publik. Dugaan penyimpangan keuangan dan tidak transparannya pengelolaan hasil kebun memicu desakan agar aparat penegak hukum turun tangan.
Informasi mencuat setelah seorang anggota kelompok, berinisial K.A, memberikan keterangan kepada sejumlah wartawan yang tergabung dalam Dewan Pengurus Cabang Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (DPC PWDPI) Labura, Senin (21/4/2025). Dalam keterangannya, K.A menyampaikan bahwa sejak berdirinya KTH KPLS berdasarkan SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) No. SK.8112/MENLHK.PSKL/PSL.0/2019, belum pernah dilaksanakan rapat terkait Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), serta tidak ada laporan pembagian hasil dari usaha kebun sawit.
"Kami tidak pernah dilibatkan dalam rapat, apalagi menerima hasil. Padahal, kebun sawit yang sudah produktif seluas 600 hektare. Setiap hari bisa panen sekitar 30 ton sawit, itu jika dikalikan harga jual Rp2.400/kg, maka per hari bisa menghasilkan sekitar Rp72 juta. Tapi yang kami terima hanya tali kasih Rp40 ribu sampai Rp100 ribu saja," ungkap K.A.
K.A juga mengungkapkan kejanggalan lain, seperti keikutsertaan perangkat desa dalam daftar anggota kelompok tanpa keterlibatan langsung di lapangan. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa nama-nama warga yang tercantum hanya digunakan sebagai tameng untuk kepentingan kelompok tertentu atau perusahaan lama yang pernah menguasai lahan tersebut.
"Patut diduga tanah tersebut merupakan bekas lahan PT Sawita Estate, yang kini seperti dikuasai pribadi oleh ketua kelompok. Legalitas dan dasar hibah tanah juga tidak pernah dijelaskan kepada anggota," tambahnya.
Menanggapi laporan tersebut, Ketua DPC PWDPI Labura, Muhammad Idris, bersama sekretaris M. Yusup Harahap, menegaskan akan melaporkan kasus ini ke Polda Sumatera Utara, serta menyurati Presiden RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan jika tidak ada tindakan dari aparat hukum di daerah.
"Kami mendesak Kapolres Labuhanbatu dan Kepala Kejaksaan Negeri Rantau Prapat segera memanggil Ketua KTH KPLS dan Kepala Desa Air Hitam untuk dimintai keterangan. Ini menyangkut pengelolaan dana dan legalitas penguasaan lahan oleh kelompok tersebut," tegas Muhammad Idris.
Pihaknya juga menyoroti kurangnya pengawasan dari instansi teknis seperti Dinas Perkebunan dan PPL, serta mempertanyakan kontribusi usaha tersebut terhadap Pendapatan Asli Desa (PAD).
"Ini polemik besar yang harus dibongkar. Dari siapa tanah seluas itu bisa diserahkan ke kelompok tani? Apa kontribusinya ke negara atau desa? Kami akan kawal sampai tuntas," tutup Idris.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan transparansi dan tata kelola dalam pemanfaatan hutan kemasyarakatan yang perlu pengawasan ketat dari pemerintah pusat dan daerah.
(TIM)
0 Komentar