Seruan Tutup PT TPL Mengemuka Lagi, Pengamat Usulkan Dialog Bersama

MEDAN|GarisPolisi.com Seruan penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali mengemuka setelah pernyataan tegas disampaikan Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Ephorus HKBP Pdt. Viktor Tinambunan, bersama para pemimpin gereja lain. Pernyataan ini menegaskan kembali posisi gereja terhadap dugaan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak ulayat yang diduga dilakukan oleh perusahaan bubur kertas itu di kawasan Tano Batak, Sumatera Utara.

Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Pusat HKBP, Pearaja Tarutung,  Ephorus HKBP menyampaikan seruan moral kepada pemerintah agar mencabut izin operasional PT TPL. “Kami menyerukan agar PT TPL ditutup. Kehadiran TPL tidak membawa kebaikan bagi masyarakat, melainkan penderitaan dan kerusakan lingkungan,” ujar Pdt. Viktor Tinambunan .

Pernyataan ini memicu perdebatan di tengah masyarakat. Sebagian mendukung penuh langkah gereja, tetapi ada pula yang menilai perlu pendekatan yang lebih bijaksana dan komprehensif terhadap persoalan tersebut.

Pengamat kebijakan publik dan sosial, Effendi MS Simbolon, menilai seruan penutupan TPL bukan hal baru. “Sejak 2002, sudah berkali-kali tuntutan serupa muncul. Namun, hingga kini belum ada penyelesaian yang tuntas. Ini menandakan perlunya pendekatan yang lebih strategis dan dialogis,” ujarnya.

Ia menilai penting untuk duduk bersama antara pihak gereja, masyarakat adat, pemerintah, dan manajemen PT TPL guna membahas secara terbuka berbagai persoalan yang ada. “Jika hanya mengedepankan tuntutan tanpa ruang dialog, kita khawatir konflik sosial akan makin meluas. Mari kelola sebab, bukan sekadar akibat,” ujar Effendi.

Salah satu pengamat lingkungan dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Parlindungan Purba, juga menekankan pentingnya keterbukaan data dari kedua belah pihak. “Gereja menyampaikan aspirasi masyarakat, tapi perlu didukung data valid. Di sisi lain, TPL harus transparan terhadap dampak lingkungannya dan berani mengoreksi bila ada kekeliruan,” katanya.

Polemik PT TPL mencakup berbagai aspek. Selain isu kerusakan ekologi dan perusakan hutan adat, muncul pula tudingan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak ulayat. Namun, di sisi lain, TPL juga disebut berkontribusi terhadap penyediaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi lokal.

“Industri ini telah eksis selama puluhan tahun. Ada sisi berkat, tetapi juga ada luka. Jangan sampai kita menilai hanya dengan emosi. Perlu keseimbangan pandangan,” kata tokoh masyarakat Tapanuli, Mangaranap Manalu.

Ia berharap seruan gereja tidak sekadar emosional, melainkan menjadi pintu masuk ke arah dialog yang sehat. “Apakah industri ini benar-benar kutukan? Atau masih bisa menjadi berkat? Ini hanya bisa dijawab lewat forum bersama yang jujur dan terbuka,” katanya.

Kelompok masyarakat adat yang terdampak, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, menyambut baik seruan HKBP namun juga mendesak solusi konkret. “Kami setuju bahwa hak-hak masyarakat harus dikembalikan. Tapi kami juga butuh proses rekonsiliasi, bukan hanya konfrontasi,” ujar Sekjen AMAN Tano Batak, Frederik Gultom.

Frederik menekankan pentingnya membangun ruang mediasi yang melibatkan semua pihak. “Ephorus HKBP dan pihak PT TPL harus duduk bersama masyarakat. Bukan untuk berdebat, tapi untuk mencari solusi adil bagi semua,” ujarnya.

Seiring dengan dinamika yang berkembang, sejumlah kalangan mendorong agar pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), segera memfasilitasi pertemuan lintas pihak. Harapannya, proses dialog dapat melahirkan kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan tidak menciptakan luka sosial baru di Tanah Batak.

“Isu ini bukan hanya soal industri, tetapi menyangkut keadilan ekologis, hak masyarakat adat, dan masa depan generasi mendatang. Sudah waktunya duduk bersama dan menyelesaikannya secara bermartabat,” tutup Effendi Simbolon.

(Red)

Posting Komentar

0 Komentar