Warga menilai upaya pengosongan lahan yang disebut berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan itu sarat kejanggalan hukum dan tak melibatkan mereka sebagai pihak berperkara. Mereka menyerukan permohonan langsung kepada Presiden RI Prabowo Subianto agar turun tangan menyelamatkan hak mereka.
“Kami sudah tinggal di sini lebih dari 50 tahun, dari generasi ke generasi. Sekarang tiba-tiba kami disebut pendatang liar? Negara harus hadir!” kata Igun (53), tokoh masyarakat dalam orasinya.
Pantauan wartawan hingga pukul 11.30 WIB, tidak tampak satu pun petugas dari PN Medan maupun aparat kepolisian yang hadir di lokasi. Padahal, surat pemberitahuan pelaksanaan eksekusi dari PN Medan telah diedarkan sejak 1 Juli 2025. Eksekusi direncanakan berlangsung pukul 09.00 WIB berdasarkan surat bernomor 8067/PAN.01.PN.W2/HK2.4/VI/2025 atas perkara No. 77/Pdt.Eks/2024/PN.Mdn Jo No. 269/Pdt.G/2011/PN.Mdn.
Namun ketika dikonfirmasi, Kapolsek Medan Labuhan Kompol Tohap Sibuea mengaku tidak mengetahui rencana eksekusi tersebut. "Belum Pak... Terima kasih," balasnya singkat lewat pesan WhatsApp pada Selasa (8/7).
Sementara itu, Kabag Ops Polres Pelabuhan Belawan Kompol Pittor Gultom yang turut dikonfirmasi wartawan tidak memberikan tanggapan hingga berita ini diterbitkan. Humas PN Medan Soni juga belum menjawab pertanyaan terkait legalitas dan transparansi proses eksekusi.
Kuasa hukum warga, Irwansyah Gultom SH dan Ariansyah Putra SH, menilai bahwa eksekusi yang direncanakan cacat hukum. Mereka menegaskan warga bukan merupakan pihak dalam perkara perdata yang menjadi dasar eksekusi.
"Warga memiliki bukti kepemilikan sah dan telah menempati lahan ini sejak puluhan tahun lalu. Dalam Peraturan Mahkamah Agung disebutkan, bila ada pihak ketiga yang dapat menunjukkan bukti sah, maka eksekusi wajib ditunda,” tegas Irwansyah di lokasi aksi.
Ia juga menyebut bahwa dalam surat putusan disebutkan luas lahan yang akan dieksekusi mencapai 17 hektare. Namun dalam surat penetapan PN Medan hanya tercantum dua hektare, yang justru berada di luar lokasi yang disengketakan. “Ini membingungkan. Objek eksekusinya tidak jelas. Kami akan lanjutkan perlawanan hukum,” katanya.
Dalam aksinya, warga membentangkan spanduk bertuliskan “Pak Presiden, Selamatkan Kami dari Mafia Tanah!” Mereka menduga ada permainan mafia tanah yang berkolusi dengan oknum aparat dan lembaga hukum untuk menguasai lahan bernilai tinggi.
“Kami punya surat sejak 1982. Ini bukan tanah kosong. Jangan rampas hak kami dengan cara-cara kotor,” ujar seorang ibu rumah tangga yang menolak disebut namanya.
Warga berharap pemerintah pusat dan daerah, termasuk Gubernur Sumut Bobby Nasution dan Wali Kota Medan Rico Waas, segera mengambil langkah nyata. Mereka juga meminta legalisasi hak tanah secara resmi, terutama untuk keluarga kurang mampu.
Ini merupakan aksi kedua yang digelar warga di lokasi yang sama. Sebelumnya, eksekusi pada 23 Juni 2025 juga gagal dilakukan karena pihak kepolisian disebut masih fokus pada peringatan HUT Bhayangkara.
Kini, warga Tanjung Mulia bertekad akan terus bertahan dan menuntut keadilan.
“Kami hanya ingin tenang di tanah sendiri. Jangan paksa kami bertindak di luar hukum. Negara harus hadir, bukan malah berpihak ke mafia,” tutup Igun dalam orasi.
(WPS)


0 Komentar