Asahan|GarisPolisi.com – Keberadaan alat berat jenis excavator milik Kelompok Tani Hutan (KTH) Mardesa di kawasan hutan lindung Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Asahan, menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Rabu (12/6/2025), sejumlah organisasi masyarakat dan aktivis lingkungan mendesak agar excavator segera dikeluarkan dari area hutan yang dilindungi oleh negara.
Organisasi yang menyuarakan keprihatinan tersebut antara lain Gerakan Masyarakat Pemuda Revolusi (GEMPAR), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kualuh Leidong, GRIB JAYA, dan sejumlah media lokal. Mereka menemukan bahwa excavator tengah digunakan untuk memperbaiki benteng penahan air asin di dalam kawasan hutan lindung dan dikawal langsung oleh anggota KTH Mardesa.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KKPH) 3 Asahan, Jhonner E.D. Sipahutar, S.Hut., M.Si., mengungkapkan bahwa dirinya telah memberikan peringatan keras kepada Ketua KTH Mardesa agar dalam waktu 1x24 jam alat berat tersebut segera dikeluarkan.
"Saya sudah sampaikan langsung kepada Ketua KTH Mardesa agar mengatur anggotanya dan segera menarik excavator dari lokasi. Apapun alasannya, kegiatan itu belum memiliki dasar regulasi yang sah. Kalau diteruskan, kami tidak bertanggung jawab," tegas Jhonner.
Menurut Jhonner, meskipun KTH Mardesa memiliki izin pengelolaan hutan berbasis perhutanan sosial, penggunaan alat berat di kawasan hutan lindung harus tetap mengikuti ketentuan yang berlaku.
Ketua KTH Mardesa, Kamarul Zaman Hasibuan, membenarkan bahwa excavator digunakan untuk memperbaiki tanggul air asin guna mendukung kegiatan tanam padi. "Secara kelembagaan saya sudah sampaikan larangan penggunaan excavator itu. Tapi masyarakat tetap ngotot karena alasan kebutuhan ekonomi dan anak-anak yang harus sekolah," ujarnya.
Kamarul mengaku bahwa ia telah meminta izin informal kepada pihak KKPH, namun mengakui belum ada regulasi resmi yang mengatur soal penggunaan alat berat di kawasan perhutanan sosial.
Menanggapi hal ini, salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa tindakan tersebut telah menyimpang dari tujuan awal program Hutan Kemasyarakatan (HKm). "Mengubah fungsi kawasan hutan lindung, apalagi dengan alat berat, sama saja membunuh ekosistem mangrove secara perlahan. Tanaman mangrove butuh asupan air laut, kalau dibentengi, lama-lama mati," katanya.
Ia juga menekankan bahwa setiap kegiatan yang bersifat pembangunan atau perubahan fungsi dalam kawasan hutan lindung wajib mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta diketahui oleh pemerintah daerah setempat.
Kasus ini membuka kembali pentingnya pengawasan ketat terhadap pemanfaatan kawasan hutan, terutama dalam program perhutanan sosial yang rentan disalahgunakan. Pemerintah diminta untuk turun tangan secara tegas demi menjaga kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem.
(AM)
0 Komentar