![]() |
Mapolda Sumatera Barat. |
Pasaman Barat | GarisPolisi.com - Aktivitas tambang emas ilegal (PETI) yang marak di beberapa wilayah Pasaman Barat menuai sorotan tajam dari masyarakat dan pegiat lingkungan. Ketua LSM Team Operasional Penyelamatan Asset Negara Republik Indonesia (TOPAN RI) Pasaman Barat, Arwin Lubis, mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap para pelaku yang dinilai telah merusak lingkungan dan mengabaikan hukum.
“Penambangan emas tanpa izin sudah sangat meresahkan. Tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membahayakan ekosistem dan merugikan masyarakat,” kata Arwin dalam keterangan tertulis, Rabu (9/4/2025).
Tambang emas ilegal dilaporkan menjamur di Kecamatan Ranah Batahan, Talamau, dan Sungai Aur. Para pelaku bahkan menggunakan alat berat jenis ekskavator dalam aktivitasnya. Akibatnya, sempadan sungai rusak parah, vegetasi hilang, dan air sungai menjadi keruh serta tercemar.
“Dulu air sungai menjadi sumber utama warga untuk mandi dan minum. Sekarang air berubah cokelat dan tidak layak konsumsi,” ujar salah satu warga Talamau yang enggan disebutkan namanya.
Risiko banjir juga meningkat karena daya serap tanah menurun drastis. Warga kini kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Selain menambang tanpa izin, para pelaku diduga kuat menggunakan BBM bersubsidi jenis solar untuk mengoperasikan alat berat. Arwin menyebut hal ini sebagai bentuk perampasan hak rakyat kecil dan pengkhianatan terhadap kebijakan energi nasional.
“BBM bersubsidi seharusnya digunakan untuk nelayan dan petani, bukan untuk kegiatan ilegal yang merusak lingkungan,” tegasnya.
Meski Kepolisian Daerah Sumatera Barat dan Polres Pasaman Barat sempat menggelar razia pada Februari 2025 termasuk menyita alat berat dan menangkap operator, namun aktivitas tambang ilegal tetap berlangsung.
Warga menilai aparat penegak hukum belum bertindak secara konsisten dan menyeluruh. Ketidaktegasan ini dikhawatirkan dapat memicu konflik horizontal karena perbedaan pandangan di tengah masyarakat: sebagian menolak tambang, namun sebagian lainnya tergiur keuntungan instan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, aktivitas pertambangan tanpa izin resmi (IUP, IUPK, atau izin dari pemerintah) merupakan tindak pidana.
Pasal 158 berbunyi:
"Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah)."
Arwin dan sejumlah tokoh masyarakat pun mendesak agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. “Jika dibiarkan, kerusakan akan semakin luas, dan konflik sosial tidak terhindarkan,” tegasnya.
Sebagai informasi, pengurusan izin usaha pertambangan harus melalui prosedur resmi sesuai regulasi pemerintah, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), perizinan dari Kementerian ESDM, serta izin lokasi dari pemerintah daerah.
Dengan meningkatnya tekanan publik, diharapkan aparat dan instansi terkait segera bertindak sebelum kerusakan lingkungan dan dampaknya terhadap masyarakat semakin tidak terkendali.
(Tim)
0 Komentar