Kasus ini menuai keprihatinan luas dari masyarakat. Intan mengaku merasa tertekan secara mental karena pihak sekolah terus menagih sisa pembayaran tersebut selama setahun terakhir.
“Sebagian sudah saya cicil, tinggal Rp350 ribu lagi. Tapi saya malu karena terus ditagih,” ujar Intan Mutiara kepada wartawan, Jumat (25/7/2025).
Menanggapi polemik ini, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Labusel, H. Awaluddin Habibi Siregar, S.Ag., MA, mengakui bahwa pihaknya telah memediasi antara yayasan pengelola sekolah dengan pihak Intan.
Namun, Kemenag Labusel menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif atau tertulis kepada pihak madrasah.
“Kami sudah lakukan mediasi. Sanksi baru sebatas teguran lisan karena memang kewenangan kami terbatas. Peristiwa ini terjadi saat Intan masih berstatus siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI), bukan MTs. Tapi yang kita panggil pihak MTs-nya karena masih satu yayasan,” ujar Awaluddin.
Kasus Intan membuka kembali sorotan terhadap praktik pungutan biaya non-akademik di lingkungan pendidikan, khususnya sekolah swasta berbasis keagamaan. Banyak pihak mempertanyakan sensitivitas lembaga pendidikan terhadap kondisi ekonomi siswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Sementara itu, pihak yayasan sekolah belum memberikan keterangan resmi hingga berita ini diterbitkan. Masyarakat berharap kasus ini menjadi pelajaran penting bagi institusi pendidikan agar lebih berempati dan mengedepankan hak anak atas pendidikan.
(Sulaiman Sitorus)

0 Komentar