Ari, SH, seorang praktisi hukum dan alumni Fakultas Hukum UISU. |
Medan | GarisPolisi.com – Perlindungan data pribadi adalah bagian penting dari hak asasi manusia yang telah diatur dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945. Hak ini juga diakui secara universal oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, tantangan penerapan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) terus menjadi sorotan, terutama menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.
Di Indonesia, UU PDP yang resmi disahkan pada 20 September 2022 dengan Nomor 27 Tahun 2022 hadir sebagai payung hukum yang diharapkan mampu menjamin tata kelola dan perlindungan data pribadi warga negara. Pengesahan ini bertepatan dengan semakin maraknya kasus kebocoran data pribadi yang memengaruhi banyak pihak.
Namun, implementasi UU ini menghadapi sejumlah tantangan serius, terutama dalam menjaga netralitas dan keamanan data pribadi selama pesta demokrasi berlangsung.
Tantangan Utama Implementasi UU PDP
1. Tekanan dan Penyalahgunaan Data Pribadi
Menjelang Pilkada 2024, salah satu tantangan utama adalah potensi penyalahgunaan data pribadi. Ada laporan tentang tekanan dari oknum tertentu untuk mendapatkan data seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor Kartu Keluarga (KK), nomor SIM, email pribadi, hingga nomor telepon. Data ini berisiko disalahgunakan untuk kepentingan politik, seperti mendukung pasangan calon tertentu.
Di sisi lain, penggunaan data pribadi secara sukarela juga menjadi tantangan. Misalnya, masyarakat menyerahkan data untuk keperluan administrasi BPJS, melamar pekerjaan ASN, atau mendukung pelaksanaan tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Pengelolaan data ini harus dipastikan aman agar tidak menjadi komoditas politik atau ekonomi.
"Bagaimana menjaga keamanan dan pemanfaatannya adalah kunci. Jangan sampai data pribadi menjadi alat yang disalahgunakan," ujar Ari, SH, seorang praktisi hukum dan alumni Fakultas Hukum UISU.
2. Tanggung Jawab Lembaga Penyelenggara Pemilu
Tanggung jawab menjaga keamanan dan kerahasiaan data pribadi juga berada di pundak lembaga seperti Dukcapil, KPU, dan Bawaslu. Selama Pilkada 2024, lembaga-lembaga ini diharapkan menjaga agar tidak ada kebocoran data pribadi yang dapat digunakan untuk kepentingan di luar kewenangannya.
Pasal 67 Ayat 2 UU PDP menyatakan bahwa pelaku kebocoran data pribadi dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda hingga Rp 5 miliar. Pelanggaran ini juga dianggap melanggar Pasal 28G UUD 1945 tentang perlindungan diri pribadi.
Kasus Penolakan Penyalahgunaan Data oleh Penyelenggara Pilkada
Ari, SH, menyebut bahwa ada indikasi tekanan kepada penyelenggara Pilkada 2024 untuk menyerahkan data pribadi ketua KPPS di beberapa daerah. Namun, hingga kini, pihak penyelenggara tegas menolak permintaan tersebut karena berpegang pada amanah UU PDP.
“Penolakan ini menunjukkan komitmen penyelenggara untuk menjaga netralitas dan keamanan data pribadi. Kami berharap semua pihak yang berkepentingan sadar diri untuk tidak lagi memaksakan kehendaknya,” tegas Ari.
Harapan untuk Pilkada yang Bersih dan Jurdil
Pemerintah, masyarakat, dan penyelenggara Pilkada memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa UU PDP dijalankan dengan baik. Langkah ini penting agar Pilkada 2024 benar-benar berlangsung secara jujur dan adil tanpa adanya tekanan atau manipulasi data pribadi.
Peningkatan kesadaran tentang pentingnya perlindungan data pribadi diharapkan menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini, sehingga UU Nomor 27 Tahun 2022 dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh warga negara.
(Red)
0 Komentar